Oleh: antimurtad | Februari 15, 2008

Pembodohan dan Pemalsuan Sejarah Proklamasi

Oleh Alwi Shahab
Tanggal 6 Agustus 1945 pukul 08.15, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, menyebabkan lebih 70 ribu orang dari kota yang berpenduduk 350 ribu jiwa tewas seketika. Tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan ke Nagasaki. Sepertiga kota itu hancur dan tidak kurang 75 ribu orang tewas. Kaisar Hirohito menganggap Jepang sudah tidak mungkin lagi meneruskan peperangan dan kemudian memaklumkan kekalahannya –menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Menyerahnya Jepang hampir tidak diketahui rakyat di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, rakyat buta terhadap berita-berita luar negeri. Semua radio disegel. Mereka yang ketahuan mendengarkan siaran radio musuh sangat besar risikonya: ditangkap Kempetai (polisi milter Jepang) dan dituduh mata-mata musuh. Tuduhan yang bisa membawa kematian orang bersangkutan.

Mengingat banyak generasi sekarang yang tidak tahu kehidupan saat itu, baiklah kita kutip catatan dari seorang pimpinan Barisan Pelopor (Korps Pionir) tentang situasi akhir 1944. ”Setiap hari tampak hilir mudik mayat-mayat berjalan (tinggal kulit pembungkus tulang). Tubuh mayit berjalan itu penuh kutu di bajunya yang compang-camping. Baju yang terbuat dari bahan karung goni, tali rami, atau karet. Mayit-mayit manusia itu ada di mana-mana, di lubang perlindungan, di kuburan Cina, juga di tempat-tempat pembuangan sampah. Tergolek lemah tanpa daya.”

Ketika Jepang bertekuk lutut, yang mendengar kekalahan itu antara lain Sutan Sjahrir. Ia dikenal sebagai tokoh anti-Jepang yang bekerja di bawah tanah dan selalu mendengarkan siaran radio gelap. Pemuda Minang bertubuh kecil ini kemudian menyebarkan berita kekalahan Jepang itu kepada para pemuda. Para pemuda pun mendesak Bung Karno agar segera memproklamasikan kemerdekaan, bahkan kemudian menculiknya bersama Bung Hatta dan Ibu Fatmawati ke Rengasdengklok, kota kecamatan di Karawang, Jawa Barat.

Bung Karno rupanya tidak pernah melupakan ‘penghinaan’ Sjahrir ini. Dalam biografinya seperti dituturkan pada Cindy Adams, Bung Karno mengatakan, ”Sjahrir-lah orang yang menyala-nyalakan api para pemuda. Dia tertawa mengejekku dengan diam-diam dan tidak pernah di hadapanku. Soekarno itu gila… Soekarno kejepang-jepangan… Soekarno pengecut….

AM Hanafi, tokoh Angkatan ’45 dan mantan dubes RI di Kuba, dalam buku Menteng 31 menulis, ”Tanggal 14 Agustus 1945 pukul 15.00 beberapa pemuda radikal berkumpul di sebuah pekarangan yang banyak pohon pisangnya, tidak jauh dari lapangan terbang Kemayoran. Mereka adalah Chaerul Saleh, Asmara Hadi, AM Hanafi, Sudiro, dan SK Trimurti. Kami menantikan kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta dari Saigon. Kami pikir keduanya diiming-imingi Jepang dengan janji kemerdekaan kelak di kemudian hari. Janji yang kami anggap menghina bangsa Indonesia. Kami para pemuda tidak mau kemerdekaan hadiah.”

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta hendak masuk mobilnya, Chaerul Saleh menghampiri mereka, dan berkata, ”Proklamirkan kemerdekaan sekarang juga.” Bung Karno yang tidak senang didesak mengatakan, ”Kita tidak bisa bicara soal itu di sini. Lihat itu, Kempetai mengawasi kita.” Lalu ia masuk ke mobil di mana Hatta sudah berada di dalamnya.

Jakarta kala itu sangat tegang. Golongan tua termasuk Bung Karno dan Bung Hatta berpendapat sebaiknya kemerdekaan dicapai tanpa pertumpahan darah. Ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak Jepang. Sebaliknya kelompok pemuda sudah tidak sabar lagi. Kemerdekaan harus segera diproklamasikan tanpa bantuan dan melibatkan bangsa asing mana pun.

Pada 15 Agustus 1945 pukul 20.00, di salah ruangan Lembaga Bakteriologi, di Pegangsaan Timur 17 (sekarang Fakultas Kesehatan Masyarakat UI), para pemuda dan mahasiswa mengadakan pertemuan di bawah pimpinan Chaerul Saleh. Hasilnya, pukul 23.00 mereka mengutus Wikana dan Darwis mendatangi Bung Karno dan mendesak agar esok hari (16/8) memproklamasikan kemerdekaan. Bung Karno menolak. Alasannya ia dan Bung Hatta tidak ingin meninggalkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Apalagi PPKI esoknya akan rapat di Jakarta.

Mendengar penolakan itu, Wikana mengancam, ”Kalau Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, esok akan terjadi pertumpahan darah di Jakarta.” Bung Karno pun naik pitam, ”Ini batang leherku. Potonglah leherku malam ini juga.” Wikana terkejut melihat kemarahan Bung Karno itu.

Ancaman para pemuda rupanya bukan omong kosong. Pada 16 Agustus 1945 pukul 04.00, setelah sahur, mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok. Di sini sekali lagi para pemuda di bawah pimpinan Sukarni gagal memaksa keduanya untuk memproklamasikan kemerdekaan.

‘Perdebatan’ kelompok muda dan tua terjadi kembali pada menit-menit menjelang proklamasi. Meski proklamasi diputuskan akan dibacakan pukul 10.00 di kediaman Bung Karno, para pemuda tetap gelisah. Mereka khawatir tentara Jepang akan menggagalkannya. Mereka mendesak Bung Karno segera membacakannya tanpa menunggu Bung Hatta.

Saya tidak akan membacakan teks proklamasi kalau Bung Hatta tidak ada. Jika Mas Muwardi tidak mau menunggu, silakan baca sendiri,” kata Bung Karno dengan lantang. Tak lama kemudian terdengar teriakan, ”Bung Hatta datang… Bung Hatta datang….” Tepat pukul 10.00 tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan RI pun diproklamasikan.

Menjelang Proklamasi di Kediaman Bung Karno

Pada 15 Agustus 1945, Jepang bertekuk lutut pada Angkatan Perang Sekutu. Hari itu suasana kota Jakarta tegang akibat desas-desus penyerahan Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta yang baru pulang dari Saigon menemui Jenderal Besar Terauchi, Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara, berusaha untuk mencari keterangan dari Gunseikun (Kepala Pemerintahan Pendudukan Jepang). Tapi, usaha kedua tokoh nasional ini sia-sia. Para perwira militer Jepang tutup mulut. Termasuk Laksamana Maeda, penghubung AL Jepang di Indonesia, yang didatangi Bung Karno, Hatta, dan Mr Achmad Subardjo.

Sejumlah pemuda dan mahasiswa yang mengetahui kekalahan Jepang ini meneruskan kepada lainnya dengan bisik-bisik. Mereka pun bersiap-siap agar proklamasi kemerdekaan dilaksanakan pada hari itu juga. Menjelang larut malam, Mr Achmad Subardjo dalam perjalanan dari kediamannya di Cikini menuju kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi), lebih dulu mampir di kediaman Bung Hatta di Jl Diponegoro. Ia mengajak Hatta yang tengah sibuk mempersiapkan rapat Badan Persiapan Kemerdekaan RI keesokan harinya (16 Agustus) turut serta ke kediaman Bung Karno.

Keduanya tiba di kediaman Bung Karno pukul sebelas malam. Bung Karno sedang duduk dikelilingi para pemuda. Suasananya sangat tegang karena emosi kedua belah pihak dalam suhu yang panas. ”Sewaktu kami memasuki ruang duduk tampak jelas kelegaan Sukarno atas kedatangan kami. Kehadiran kami rupanya memberi pengaruh yang menenangkan, karena Sukarno telah menguasai kembali gejolak emosinya. Sukarno menceritakan kepada kami bahwa para pemuda tersebut telah datang untuk mendesaknya mengambil tindakan dalam hubungan proklamasi kemerdekaan,” tulis Achmad Subardjo yang usianya lima tahun lebih tua dari Bung Karno dan enam tahun diatas Bung Hatta.

Wikana dan Darwis mewakili kelompok muda yang dipimpin Chaerul Saleh dan Sukarni ini datang ke kediaman Bung Karno pukul sepuluh malam. Para pemuda ini mendesak agar proklamasi dilaksanakan malam itu juga. Bung Karno menyatakan bahwa ia tidak bisa memutuskan hal ini sebelum membicarakannya dengan teman-teman lain. Apalagi pada 16 Agustus 1945 BPUPKI akan bersidang.

Bung Karno kemudian mengemukakan pendapat Bung Hatta bahwa mereka berdua tidak akan membiarkan diri mereka digagahi atau digertak. ”Jika kalian siap menyatakan sendiri kemerdekaan cobalah! Saya ingin tahu kesanggupan kalian.” Hal ini dijawab para pemuda, ”Jika ini pendapat Bung, silahkan! Kami para pemuda tidak dapat membenarkan penundaan proklamasi lewat siang atau besok. Kami para pemuda akan mengambil tindakan-tindakan dan membuktikan kesanggupan kami seperti Bung kehendaki.

Wikana seperti dituturkan Achmad Subardjo tetap mendesak agar Bung Karno mengumumkan Indonesia telah bebas dari cengkeraman Jepang melalui stasiun radio malam itu juga. ”Sesuatu yang tidak mungkin karena stasiun radio masih dikuasai balatentara Jepang yang memiliki persenjataan lengkap,” tulis Subardjo.

Karena Bung Karno tetap menolak, Wikana pun mengancam. ”Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman malam ini juga akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari.” Mendengar ancaman ini Bung Karno naik darah. Ia berdiri menuju Wikana dan memuntahkan kata-kata. ”Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga. Kamu tidak usah menunggu esok hari.

Subardjo mengaku sepakat dengan Bung Karno. ”Saya secara diam-diam setuju dengan pendapatnya karena bagaimana mungkin kami meninggalkan para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan yang akan bersidang hari esoknya di Pejambon (kini Gedung Pancasila),” tulis Subardjo.

Laki-laki kelahiran Karawang Maret 1896 ini pun hanya berdiam diri dan mendengarkan Hatta memperingatkan Wikana. ”Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika Saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa Saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan, mengapa Saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta Sukarno untuk melakukan hal itu?” kata Hatta. Para pemuda yang kecewa berat meninggalkan kediaman Bung Karno pukul 11.30 malam.

Rupanya ancaman mereka bukan gertak sambal. Keesokan harinya saat sahur, Bung Karno dan Bung Hatta diculik dan dibawa ke Rengasdenglok, sekitar 60 km timur Jakarta. Achmad Subardjo, Menlu pertama RI, ini baru mengetahuinya keesokan harinya (16/8/1945) pukul delapan pagi. Ia menjadi gelisah karena pada pukul sepuluh pagi akan ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan. Bung Karno dan Bung Hatta menjadi ketua dan wakil ketuanya.

Pencarian Bung Karno dan Bung Hatta pun dilakukan. Baru menjelang sore para pemuda melalui Wikana menyatakan bahwa mereka menculik Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdenglok. ”Penculikan ini karena khawatir bahwa keduanya akan dibunuh oleh tentara Jepang dan paling sedikit digunakan sebagai sandera,” papar Wikana. Dengan mobil Skoda tua pada pukul empat sore, Subardjo cs menuju Rengasenglok dan tiba di sana malam hari.

Apakah Jepang sudah menyerah?” tanya Bung Karno. ”Saya kemari untuk memberitahukannya,” jawab Ahmad Subardjo yang baru mengetahuinya menjelang siang dari Laksamana Maeda. Dan pada malam itu juga disusunlah naskah proklamasi oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo dalam rapat yang berlangsung pada pukul empat dinihari di Jl Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat. Keesokan paginya pukul sepuluh Bung Karno membacakan naskah proklamasi itu. (RioL)

Rumah Bung Karno

Sejarah Indonesia terasa hambar. Bahkan bongkar pasang. Buktinya, banyak peninggalan sejarah telah dibongkar dan dihancurkan. Tidak terkecuali rumah kediaman Bung Karno. Padahal, rumah di Jl Proklamasi (dulu Jl Pegangsaan Timur) 56, Jakarta memiliki nilai sejarah paling monumental. Dari tempat ini pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi diproklamirkan kemerdekaan RI.

Kini, rumah yang bagian mukanya dibangun patung Proklamator Sukarno – Hatta, dijadwalkan akan dibangun kembali sesuai bentuk aslinya. ”Agar nilai sejarahnya lebih berbobot, pembangunan kembali rumah Bung Karno sebaiknya dilakukan ditempat semula,” kata drs Nurhadi, seorang staf pada Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta. Tanpa harus menggusur Tugu Proklamator, masih terdapat cukup luas pekarangan, di gedung yang sekarang bernama Perintis Kemerdekaan.

Ali Sadikin, ketika membuka seminar: ”Potensi Ekonomi Pelestarian Kawasan dan Bangunan Tempo Doeloe” pekan lalu ikut mendorong dibangunnya kembali kediaman Bung Karno. Bahkan, mantan gubernur DKI itu mengimbau masyarakat dan LSM untuk juga ikut mendorongnya. ”Belum terlambat untuk membangun kembali rumah Bung Karno,” katanya.

Sebetulnya, keinginan untuk membangun kembali rumah yang 55 tahun lalu dijadikan tempat proklamasi kemerdekaan RI sudah tercetus sejak lama.

Seperti dikemukakan Ali Sadikin, sejak menjadi gubernur DKI ia sudah berencana membangunnya kembali. ”Bahkan saya telah menyiapkan dananya. Tapi, Pak Harto tidak setuju karena akan membangun patung proklamator,” kata Bang Ali.

Agar pembangunan kembali rumah Bung Karno dapat dipertanggungjawabkan terhadap keabsahan sejarah, pihak Dinas Museum dan Pemugaran DKI, kata Nurhadi, tengah meneliti kembali bentuk rumah saat masih didiami presiden pertama RI. Seperti jumlah dan letak kamar, jenis perabot yang digunakan, tempat tidur Bung Karno dan keluarga. Di antara putera-puteri Bung Karno, hanya si sulung Guntur yang dilahirkan di tempat ini.

Rumah ini dibongkar masa pemerintahan Bung Karno. Ada yang mengatakan ia tidak mau diingatkan kembali pada keadaan yang tidak menyenangkan, saat-saat menjelang proklamasi kemerdekaan. Seperti saat ia beberapa kali didesak para pemuda radikal yang mengancamnya agar memproklamirkan kemerdekaan lebih awal.

Tentu saja, Bung Karno, sesuai dengan wataknya tidak pernah mau dipaksa-paksa kelompok muda, seperti Sukarni, Chaerul Saleh dan Wikana. Alasannya, waktu itu Jepang masih kuat dan memiliki senjata, yang tidak dimiliki para pemuda.

Dalam buku ”Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat” nya Cindy Adams, Bung Karno mengatakan: ”Kalau engkau, pemuda, hendak mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia, cobalah tanpa saya.” Sementara dibelakang terdengar tangis Guntur dibujuk oleh Fatmawati. Menggambarkan betapa ‘panasnya’ pertemuan ini.

Pada 15 Agustus 1945, para pemuda yang telah mendengar Jepang menyerah, kembali mendatanginya diberanda rumah ini. ”Sekarang Bung, malam ini juga,” kata Chaerul Saleh. ”Kita kobarkan revolusi yang meluas malam ini juga. Dengan satu isyarat Bung Karno seluruh Jakarta akan terbakar. Ribuan pasukan bersenjata sudah siap sedia menyingkirkan seluruh tentara Jepang.”

Sukarni dan sejumlah pemuda lainnya juga bersuara lantang. Karena Bung Karno tetap tidak mau meladeni desakannya, seorang pemuda dengan suara rendah mengatakan: ”Barangkali Bung Besar kita takut. Barangkali dia menunggu perintah dari Tenno Heika.” (Kaisar Jepang-penulis).

Wikana mengikuti ejekan ini. ”Dia coba menggertakku. Revolusi berada ditangan kami sekarang dan kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …..”. ”Lalu apa?” teriakku sambil meloncat dari kursi dengan kemarahan menyala-nyala. Jangan aku diancam. Ini kudukku. Boleh potong hayo.

Keesokan harinya (16/8-1945), sekitar pukul 04.00 saat sahur (waktu itu bulan puasa), para pemuda dipimpin Sukarni menculik Sukarno dan Hatta. Bersama Fatmawati dan Guntur yang masih bayi, mereka dibawa ke Rengasdenglok, Karawang (75 km arah timur Jakarta). Keduanya kembali menolak desakan para pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan di tempat ini. Baru kembali ke Jakarta malam hari, mereka langsung merumuskan naskah proklamasi di Jl Imam Bonjol (Nassau Boulevard), rumah Laksamana Maeda, panglima AL Jepang di Indonesia hingga pukul 04.00 pagi.

Mulanya, proklamasi kemerdekaan akan dibacakan di Lapangan Ikada (Monas). Tapi, demi menghindarkan bentrokan dengan tentara Jepang ditetapkan di kediaman Bung Karno. Pagi hari (17 Agustus 1945), sekitar 09.00 pagi kira-kira 500 orang berdiri di depan beranda rumah ini.

Sekarang Bung, sekarang. Rakyat berteriak.” Tapi Bung Karno tidak mau, karena Hatta tidak ada. Ketika didesak dr Muwardi, komandan Barisan Pelopor, Bung Karno mengatakan: ”Saya tidak mau membacakan teks proklamasi bila Hatta tidak ada. Jikalau Mas Muwardi tidak mau menunggu silahkan baca sendiri.” Hatta tiba lima menit sebelum pembacaan proklamasi.

Masih banyak peristiwa penting terjadi di tempat ini. Seperti saat ia bersama Bung Hatta memimpin sidang kabinet RI pertama, hanya beberapa hari setelah proklamasi.

http://alwishahab.wordpress.com/2000/07/30/rumah-bung-karno/

Laksamana Maeda

Kesibukan luar biasa tampak di sebuah rumah berlantai dua di Jl Teji Meijidori No 1. Terlihat puluhan pemuda bergerombol, ada yang duduk-duduk di teras rumah tersebut. Ada pula yang duduk-duduk di rumput pekarangan sambil mengobrol. Mereka menampakkan wajah yang serius, tanpa memperdulikan sengatan angin dingin pada dini hari menjelang subuh. Para pemuda ini dengan sabar tengah menunggu apa yang akan diputuskan oleh para pimpinan mereka di lantai satu rumah tersebut.

Peristiwa diatas bukan terjadi di Jepang. Tapi di Jakarta. Yang disebut Jl Teji Meijidori No. 1 (kini Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat), adalah kediaman Laksamana Tadashi Maeda, panglima AL Jepang di Indonesia. Di kediaman petinggi militer Jepang inilah, Bung Karno, Bung Hatta, dan para tokoh pergerakan kemerdekaan, tengah menyusun teks proklamasi. Mereka seolah-olah bergelut dengan waktu, karena teks proklamasi itu akan dibacakan pagi harinya, 17 Agustus 1945. Detik-detik menjelang proklamasi itu, memang menegangkan bagi para pemuda itu.

Pada 14 Agustus petang, Syahrir memberitahukan kepada Bung Karno dan Hatta, yang bersama dengan dr Radjiman Wedyodiningrat baru pulang dari Dallath, Vietnam memenuhi undangan Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara. Pemberitahuan itu tentang kekalahan Jepang dari Sekutu. Tak ada yang tahu berita ini, kendati kekalahan Jepang itu sudah terjadi pada 6 Agustus 1945, ketika bom atom pertama membakar Hiroshima. Sebanyak 70 ribu dari 350 ribu penduduk Hiroshima, tewas. Jepang kian takluk ketika bom atom kedua dijatuhkan ke kota Nagasaki, menewaskan 75 ribu penduduknya.

Kekalahan ini sangat dirahasiakan di Indonesia. Waktu itu rakyat hanya boleh mendengar berita-berita yang bersumber dari Jepang yang kebanyakan berisi propaganda. Semua radio disegel dan mereka yang mendengar siaran luar negeri dianggap ‘mata-mata musuh’ dan bisa dihukum mati. Ditengah-tengah ancaman ini, ada gerakan dibawah tanah dipimpin Sutan Syahrir yang mendengar kekalahan Jepang.

Setelah dicek kepada Laksamana Maeda di kantornya di Merdeka Timur (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut), petinggi Jepang ini membenarkan berita tersebut. Namun ia menegaskan belum menerima kabar langsung dari Tokio. Bung Karno yang menginginkan agar proklamasi kemerdekaan diputuskan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), menolak usulan para pemuda revolusioner yang mendatangi kediamannya di Jl Proklmasi 57, pada 15 Agustus pukul 22.00.

Para pemuda yang diwakili oleh Wikana dan Darwis, meminta agar kemerdekaan diproklamasikan malam itu juga. Wikana dengan nada mengancam mengatakan, bila Bung Karno enggan memaklumkan kemerdekaan malam ini juga, niscaya akan meletus pertempuran keesokan harinya. Mendengar omongan ini, memicu kemarahan Bung Karno. “Apakah saudara sudah siap betul-betul melancarkan suatu revolusi? Kalau gagal, bagaimana ? Bukankah rakyat nanti menjadi korban?” Bung Karno menghardik Wikana. Nyali Wikana tak surut menerima sergahan. “Rakyat siap berontak. Pemuda yang akan memimpin pemberontakan rakyat,” kata Wikana memotong tajam ucapan Bung Karno.

Kelancangan Wikana ini mengobarkan api kemarahan Bung Karno. Bangkit dari tempat duduknya, halilintar kemarahan pun memecah keheningan ruangan : “Biar digorok leherku, aku tidak akan memproklamirkan kemerdekaan malam ini, besok atau kapan saja. Kamu jangan coba-coba mengancam aku, ya!” Bung Karno menghardik Wikana.

Setelah Wikana dan Darwis melaporkan kepada para pemuda hasil pertemuannya di kediaman Bung Karno, maka Kamis 16 Agustus pukul 04.00 Bung Karno dan Bung Hatta diungsikan ke Rengasdenglok, Karawang, Jabar. Mr Achmad Subardjo menjemput keduanya untuk kembali ke Jakarta. Mereka tiba di kediaman masing-masing pukul 23.00. Bung Karno mengantar Ibu Fatmawati dan Guntur yang masih bayi, dan kemudian menuju ke kediaman Laksamana Maeda.

Demikian juga Bung Hatta. Di rumah perwira tinggi AL Jepang ini sudah banyak orang berkumpul, termasuk para anggota PPKI. Bung Karno dan Bung Hatta diantar Laksamana Maeda menemui Mayor Jenderal Nishimura. Maksudnya, untuk mengetahui sikap perwira tinggi AD Jepang tentang pengumuman proklamasi. Pati AD Jepang itu berpendirian sesuai dengan peraturan internasional bahwa setelah menyerah pada Sekutu, tentara Jepang harus memelihara status quo. Tidak boleh mengadakan perubahan apa-apa. Akhirnya, Bung Karno dan Bung Hatta mengambil kesimpulan tidak perlu lagi mengadakan pembicaraan dengan pihak Jepang.

Mereka kembali ke rumah Laksamana Maeda. Jam menunjukkan 17 Agustus pukul 02.00. Maka disusunlah teks proklamasi. Rumusan itu ditulis di atas kertas buku catatan bergaris biru, dari seorang hadirin. Rampung, Bung Karno meminta persetujuan yang hadir. Gemuruh suara menyatakan setuju. Teks proklamasi kemudian diketik Sayuti Melik, di dekat dapur kediaman Laksamana Maeda. Rapat berakhir pukul 04.00. Dan pukul 10.00 pagi pun Indonesia sudah merdeka.

Pembodohan dan Pemalsuan Sejarah di Lokasi Proklamasi

Oleh: M Sjafe’i Hassanbasari
Di mana letaknya tempat yang disebut ’Gedung Proklamasi’?” Pertanyaan yang sederhana mengenai tempat kelahiran negara Indonesia, tetapi jawaban yang muncul banyak mengarah kepada “tidak tahu“. Sesungguhnya, jawaban “tidak tahu” jauh lebih baik daripada percaya kepada informasi yang sekarang terdapat di lokasi ini. Sangat menyedihkan, apa yang dimasyarakatkan oleh Pemprov DKI Jakarta mengenai “Gedung Proklamasi” kenyataannya mengandung pembodohan dan manipulasi data sejarah. Mengapa demikian?


Rumah Sukarno : Jalan Proklamasi no. 56

Kediaman Bung Karno inilah yang dulu disebut “Gedung Proklamasi“, karena di tempat ini proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir Soekarno dan Drs Moh Hatta hari Jumat legi (manis) tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi. Proklamasi kemerdekaan itu bertepatan dengan peringatan turunnya Al Quran (Nuzulul Quran, sehingga khotbah para khatib shalat Jumat pun menginformasikan peristiwa penting tentang kelahiran bangsa dan negara Indonesia).

Sayang seribu kali sayang, rumah historis ini musnah sudah sejak tahun 1960 (43 tahun lalu). Kecuali lahan, tidak sedikit pun bangunan tersisa. Tidak ada lagi peninggalan sejarah kemerdekaan yang dapat dijadikan kenangan bagi generasi penerus. Tidak ada informasi yang natural, normatif, orisinal, sesuai hakikat peristiwa yang terjadi di kediaman Bung Karno ini.

Ceritanya, tahun 1960 Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.

Di lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, “Tugu Petir“, yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian dicantumkan, “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta“.

Sekitar 50 meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai dimulainya pelaksanaan “Pembangunan Nasional Semesta Berencana“. Hanya bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan satu-satuya gedung yang ada sampai sekarang.

Menjawab kebohongan
Melihat data di atas, sungguh aneh dan ajaib ada papan petunjuk di Jalan Proklamasi bahwa belok kiri menuju “Gedung Proklamasi”. Tidak yakin dengan keterangan ini karena papan petunjuk ini dibuat oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta? Kerja pemerintah daerah ini pastilah melibatkan dinas atau instansi terkait, tidak asal-asalan.

Ada data autentik yang menjawab hal ini. Lihat halaman 170 buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964 (cetakan keenam 1985) berjudul “Peresmian Dimulainya Pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Tulisan yang tercantum, antara lain, “Presiden Soekarno meresmikan dimulainya Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969 dalam suatu upacara pencangkulan tanah di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta”.

Kata pengantar buku disampaikan Menteri/Sekretaris Negara Sudharmono SH selaku Ketua Panitia Nasional Penyelenggara Peringatan RI XXX. Buku yang hak ciptanya dimiliki Sekretariat Negara dan dicetak pertama kali tahun 1977 itu memuat pula sambutan Presiden Soeharto. Jadi, buku bersampul reproduksi lukisan Dullah milik presiden waktu itu, Soeharto, adalah dokumen resmi yang diterbitkan Pemerintah Indonesia.

Data akurat tentang “Gedung Pola” ditulis sebagai berikut: Di halaman belakang Gedung Proklamasi yang kemudian dirobohkan dibangun Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta (Gedung Pola). Pada masa ini dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang industri dan prasarana. Di bidang industri, titik berat diletakkan kepada pembangunan industri berat dan industri kimia dasar. Antara lain mulai dibangun pabrik super- fospat di Cilacap (Jawa Tengah), pabrik peleburan baja di Cilegon (Jawa Barat), serta pabrik semen, pabrik gula, dan pabrik kertas di berbagai tempat di Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan.

Apakah informasi ini diperhatikan Pemprov DKI Jakarta? Kalau “ya”, cerita di Jalan Proklamasi 56 tentulah tidak seperti sekarang. Amburadul, penuh kebohongan, dan pemalsuan sejarah yang merugikan generasi penerus bangsa dalam mengisi kemerdekaan.

Perhatikan halaman utara “Gedung Pola” (menghadap Kantor Telkom), ada baliho bertuliskan huruf-huruf besar: GEDUNG PERINTIS KEMERDEKAAN. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), baliho berarti publikasi yang besar-besaran agar menarik masyarakat. Di bagian belakang gedung juga ada tulisan serupa yang ditempel ke tembok menghadap lokasi proklamasi. Beberapa hurufnya rusak dan menggelantung, menandakan tidak terkontrol.

Istilah “Gedung Perintis Kemerdekaan” jelas salah, salah besar dalam arti sejarah, bahasa, dan pengertian politik. Dari segi sejarah, gedung ini dibangun hampir 16 tahun kemudian setelah kemerdekaan (17 Agustus 1945-1 Januari 1961) dan diberi nama “Gedung Pola“. Dari segi bahasa, menurut KBBI, kata perintis berarti usaha pertama atau permulaan; pembuka jalan. Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta tahun 1963 adalah pameran pertama tentang pembangunan setelah Indonesia merdeka. Kalau mau jujur, “Gedung Pola” disebut “Gedung Perintis Pembangunan” tentulah pas.

Kalau mau bicara tentang gedung perintis kemerdekaan, yang paling pas adalah bekas rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No 1 (waktu itu Miyako Dori, Jakarta Pusat). Gedung ini sekarang mendapat predikat “Museum Perumusan Naskah Proklamasi” (Formulation of Proclamation Text Museum). Seharusnya ada pula penyebutan “Gedung Perintis Kemerdekaan”.

Di tempat ini anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokoritu Zyunbi Tyoosakai) mengadakan sidang pada 28 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945 (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), diterbitkan Sekretariat Negara, cetakan kelima edisi III, 1995, semasa Menteri/Sekretaris Negara Moerdiono). Badan ini diketuai Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, dibantu Itibangase Yosio dan RP Soeroso (keduanya wakil ketua), beranggota 60 orang dan anggota tambahan enam orang.

Jadi, konsesi dan filosofi apa yang ingin dimasyarakatkan dengan tulisan “Gedung Perintis Kemerdekaan” atas “Gedung Pola”? Menyedihkan dan memprihatinkan. Pada zaman sekarang sangat susah menemukan saksi yang bisa menceritakan secara lengkap tentang hal-ihwal gedung ini. Akan tetapi, berapa juta warga dan mahasiswa yang terkecoh dan meyakini benarnya tulisan tersebut karena dibuat oleh pemerintah.

Padahal, kualitas informasi tersebut bobrok adanya. Informasi yang tidak ada nilai, hanya merusak pikiran sehat, dan pikiran jernih.

Tanaman pohon hias untuk pembatas halaman ternyata hanya menjadikan tempat ideal untuk pacaran dan orang tidur. Setidaknya itu yang Kompas lihat ketika beberapa kali berkunjung pada siang hari.

“Tugu Proklamasi”
Di dekat pintu keluar ada papan berwarna coklat bertuliskan “Monumen Proklamasi Kemerdekaan RI“. Tulisan lain, “Jakarta Metropolitan City, Tourism Development Board” dan angka 59, mungkin nomor papan ini.

Penyebutan nama monumen proklamasi kemerdekaan itu tidak jelas untuk bangunan mana karena “Tugu Petir” yang menjulang tinggi terletak sekitar 50 meter di belakangnya, terhalang halaman yang ditanami pohon kelapa dan tumbuhan lain. Adanya rumah berukuran sekitar 8 x 6 meter yang berjarak lima meter di belakang papan memberikan kesan “rumah itulah monumen proklamasi“. Padahal, rumah tersebut untuk, katakanlah, kantor.

Di sisi lain dari pintu keluar ini ada papan petunjuk yang lebih besar bertuliskan Monumen Pahlawan Proklamator Kemerdekaan RI Soekarno-Hatta, dibuat oleh Pemprov DKI Jakarta. Sekitar 100 meter di belakangnya di sebelah selatan memang ada monumen Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi, diresmikan Presiden Soeharto tanggal 17 Agustus 1980. Aneh juga, antara nama dan monumen letaknya berjauhan.

Di antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” yang langsung terkait dengan nuansa revolusi karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 di masa Sekutu berkuasa. Di atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, “Atas Oesaha Wanita Djakarta“. Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang Polda Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api berkobar.

Kisah tugu ini diceritakan oleh sang pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam buku 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta, hasil wawancara dengan Titiek WS. Buku yang diterbitkan Yayasan 19 Desember 1948 (cetakan pertama 1998) itu berisi perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda serta 52 tulisan saksi dan pelaku sejarah perang kemerdekaan Indonesia.

Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani sebagai seorang mahasiswi anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat tugu peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah (kemudian hari dikenal sebagai Ny Mien Sudarpo Sastrosatomo). Tidak disediakan dana, kecuali disebutkan nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab dari Biro Teknik Kores Siregar, mantan mahasiswa Tehnische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama kawan-kawan lain.

Pada menjelang peresmian, ada hambatan karena Wali Kota Jakarta Suwiryo melarang peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr Maramis yang hadir dalam pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan terjadi tragedi seperti di Amritsar (India).

Pucuk dicinta ulam tiba. Sutan Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap peresmian itu ide yang bagus dan ia bersedia meresmikannya. Pada waktu hari peresmian, memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik, tetapi tidak terjadi keributan. Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Peristiwa mengejutkan terjadi tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po memberitakan, Angkatan ’45 menginginkan agar tugu peringatan yang mereka sebut “Tugu Linggarjati” harus dimusnahkan. Pendapat yang aneh karena Perjanjian Linggarjati terjadi pada 10 November 1946, tiga bulan setelah tugu peringatan diresmikan. Menurut Yos Masdani, waktu itu komunis punya kekuatan untuk mengubah wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu lenyap.

Bersama sejumlah tokoh wanita, antara lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi, menemui Gubernur Sumarno di Balaikota. Dalam kesempatan ini, Gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu. Atas saran para wanita yang hadir, lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos Masdani.

Tahun 1968 kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan usulan agar tugu proklamasi dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif, terbukti urusan pemugaran sampai ke Sekretariat Negara. Pemugaran tertunda karena Yos Masdani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar. Ia menolak tawaran Cornell University yang akan membeli marmer-marmer itu dengan harga tinggi.

Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden Drs Moh Hatta (mengundurkan diri 1 Desember 1956). Ini menunjukkan tingginya nilai perjuangan tugu peringatan yang dibangun oleh para wanita itu.

Kisah menarik ini seharusnya bisa dibaca di lokasi ini, menjadi acuan bagi oknum yang suka mengotori bangunan untuk sadar. Ada oknum organisasi mahasiswa yang menulis “2003 FKPPRI DKI” dengan cat kuning di marmer naskah proklamasi dan peta Indonesia. Ada pula tulisan grup pemuda berisi nama-nama anggotanya. Tulisan dari mereka yang tangannya gatal dan tidak peduli dengan nilai sejarah.

60 tahun Indonesia
Di lokasi proklamasi sekarang ini tidak tergambar sejarah kepahlawanan bangsa merebut kemerdekaan. Hati menangis, rasa sedih dan prihatin yang muncul. Lantai di pelataran depan Patung Bung Karno-Bung Hatta banyak yang dicungkil orang. Ada yang sudah diperbaiki dengan disemen, tetapi masih banyak yang terpotong-potong sisa tangan jahat.

Republik Indonesia tahun 2005 berusia 60 tahun. Selama ini peringatan hari kemerdekaan dilaksanakan di halaman depan Istana Merdeka, tempat bekas kantor dan kediaman Gubernur Jenderal Belanda. Padahal, jati diri Indonesia berada di lokasi proklamasi di Jalan Proklamasi 56. Merebut kemerdekaan dengan cara dramatik berlangsung di tempat ini, ketika bala tentara Jepang di Jawa masih berkuasa walaupun Tokyo sudah takluk kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945.

Lokasi proklamasi kini disia-siakan. “Kembalikan jati diri Indonesia!” Itulah yang harus dipikirkan, direncanakan, dan dilaksanakan. Lokasi ini, kalau diratakan dan didesain ulang, hampir seluas halaman Istana Merdeka.

Jangan dilupakan pula, dibangun gedung perpustakaan untuk buku-buku kisah perjuangan bangsa dan informasi lain tentang kepahlawanan yang murni. Masih cukup waktu untuk berbuat ke arah itu. Martabat bangsa dengan segala dimensinya akan muncul dan lokasi ini menjadi obyek pariwisata yang menjanjikan secara global.

Alangkah membanggakan dan menggugah kepahlawanan dalam berjuang di alam merdeka bila peringatan HUT Ke-60 Indonesia dirayakan di tempat lahirnya jati diri Indonesia.

Di tempat kediamannya ini, Presiden Soekarno pernah menulis, “Sedjak 1 September 1945 kita meneriakan pekik ’Merdeka’. Dengoengkan teroes pekik itu, sebagai dengoengan Djiwa yang merdeka! Djiwa merdeka, jang berdjoang dan bekerdja! BERDJOANG dan BEKERDJA. Buktikan itu! (30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949).

Wallahu ‘alam bis-sawab. *

Oleh: M Sjafe’i Hassanbasari

sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0311/20/sorotan/700742.htm

http://www.duniaesai.com/sejarah/sejarah5.htm

Naskah “Asli” Proklamasi yang Tak Jadi Dibacakan

Naskah ini dibahas dan disepakati oleh anggota BPUPKI pada 14 Juli 1945 (tanggal yang bertepatan dengan Revolusi Prancis), selama kira-kira 76 menit, dari jam 13.30 — 14.46.

Naskah ini tidak jadi dibacakan karena pada dinihari 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno-Hatta, dkk., berkumpul di kediaman Marsekal Maeda untuk membahas pernyataan kemerdekaan, tidak ada satu pun orang yang hadir membawa naskah Pernyataan Kemerdekaan yang disusun di BPUPKI.

Itulah sebabnya muncul naskah Proklamasi yang begitu pendek dan ringkas yang berbunyi: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.”

Berikut di bawah ini saya ketik ulang naskah Proklamasi yang tidak jadi dibacakan itu:

==========================================

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu makan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Bangsa Indonesia di zaman dahulu telah mempunyai riwayat mulia dan bahagia, yang batas-batasnya meliputi seluruh kepulauan Indonesia sampai ke Papua, malah melampaui ke daratan Asa sampai ke batas-batas tanah Siam; negara merdeka, yang dalam perhubungan perdamaian dan persahabatan dengan negara-negara merdeka di daratan Asia, menyambut tiap-tiap bang sayang datang dengan kemurahan hati.

Kedatangan bangsa-bangsa Barat di Indonesia, membawalah bencana kepada bangsa Indonesia itu. Lebih dari tiga abad meringkuklah bangsa Indonesia di bawah kekuasaan Belanda dengan haluan politik jahat: memecah-mecah persatuan kita, mengina, menginjak-injak rasa kehormatan kita, menghina, menghisap-memeras kekayaan kita untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri.

Perkosaan yang jahat itu tidak dapat persambungan dalam dunia seterusnya, yang di dalamnya bertambah-tambah kehebatan perlombaan imperialisme Barat, berebut kekayaan segenap dunia. Dan lama-kelamaan bangkitlah kembali dengan sehebat-hebanya semangat perlawanan bangsa Indonesia, yang memang tak pernah padam dan tak pernah dipadamkan, dalam lebih 3 abad perkosaan oleh imperialisme Belanda itu. Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesa adalah sejarah berpuluh-puluh pemberontakan bangsa Indonesia melawan imperialisme Belanda itu. Bergeloralah lagi di dalam kalbu bangsa Indonesia tekad yang berkobar-kobar berbangkit kembali sebagai satu bangsa yang merdeka dalam satu negara yang merdeka, melahirkanlah pergerakan teratur dalam bangsa Indonesia, yang didasarkanatas cita-cita keadilan dan kemausiaan, menuntut pengakuan hak kemerdeaan tiap-tiap bangsa. Tidak tercegah, tidak tertahan tumbuhnya, meluas dan mendalam pergerakan ni dalam segenap lapisan dan segenap barisan bangsa Indonesia, betapa pun kerasnya, betapa pun buasnya betapa pun ganasnya kekuatan pemerintah Belanda berkhtiar mencegah dan menindasnya.

Di saat memuncaknya gelagat pergerakan itu yang seperti barat saat kelahiran anak dari kandungan ibunya, maka Tuhan Yan Maha Kuasa telah membelokkan perjaanan riwayat dunia, mengalih/memindahakn perimbangan kekuasaan di muka bumi, istimewa di daerah lautan Teduh, untuk membantu pembinaan kelahiran itu.

Tuntutan Dai Nippo Teikoku, bertentangan denan tujuan-tujuan imperialisme Barat, yaitu tuntutan hak kemerdekaan Asia atas dasar persamaan ha bangsa-bangsa, serta politik ang dengan tegas dan tepat dijalankan olehnya, menuju pembangunan negara-negara merdeka dan lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya, akhirnya telah menyebabkan Dai Nipoon Teikoku metnyatakan perang kepada Amerika Serikat dan Inggris. Perang Asia Timur Raya ini, yang berkebetulan dengan saat memuncaknya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesa dan pergerakan kmerdekaan bangsa-bangsa Asia yang lain, menjadilah sebagai puncak pertemuan perjuangan kemerdekaan segala bangsa Asia di daratan dan di kepulauan Asia.

Dengan mengakui dan menghargai tnggi keutamaan niat dan tujuan Dai Nipoon Teikoku dengan Perang Asia Timur Raya itu, maka tiap-tiap bangsa dalam lingkungan Asia Tmur Raya atas dasar pembelaan bersama, wajiblah menyumbangkan sepenuhnya tenaganya dengan tekad yang sebulat-bulatnya, kepada perjuangan bersama itu, sebagai jaminan yang seteguh-teguhnya untuk keselamatan kemerdekaannya masing-masing.

Maka sekarang, telah sampailah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa menghantarkan rakyat Indonesia, adil dan makmur, yang hidup sebagai anggota sejati dalam kekeluargaan Asia Timur Raya. Di depan pintu gerbang Negara Indonesia itula rakyat Indonesia menyatakan hormat dan terima kasih kepada semua pahlawan-pahlawan kemerdekaannya yang telah mangkat.

Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, berdasar atas segala alasan yang tersebut di atas itu, dan didorong oleh keinginan luhur supaya bertangung-jawab atas nasib sendiri, berkehidupan kebangsaan yang bebas, mulia, terhormat, maka rakyat Indonesia dengan ini:

MENYATAKAN KEMERDEKAAN.

==========================================

*post-scriptum: “Naskah pernyataan kemerdekaan ini disusun pada siang hari 14 Juli 1945. Soekarno membacakan draft-nya, dan kemudian ditanggapi dan dimintai perubahan oleh sejumlah anggota. Naskah ini diambil dari buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1980. Sayangnya, buku ini tidak mencantumkan naskah Pernyataan Kemerdekaan yang sudah direvisi oleh anggota BPUPKI dan hanya berisi draftnya berikut dialog dan debat soal perubahan tata kalimatnya. Jadi saya sendiri yang memasukkan usulan perubahan tata kalimat dari anggota BPUPKI pada draft yang dibacakan Soekarno. Ini bukan perkara mudah, karena dialog lisan sungguh sukar diikuti, dan saya membuka diri pada kemungkinan koreksi.”

============================================================

Mungkinkah Revolusi Kemerdekaan Indonesia disebut sebagai revolusi dari kamar tidur? Coba simak ceritanya. Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00, ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda .

Pating greges, keluh Bung Karno setelah dibangunkan de Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi.

Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta. Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah.

“Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai…

Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nantikan selama lebih dari tiga ratus tahun!

Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!

Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri pertama yang benar-benar orang Indonesia asli. Karena semua menteri sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. “Orang Indonesia asli” pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden Soeharto (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Mahathir Mohamad (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).

Hubungan antara revolusi Indonesia dan Hollywood, memang dekat. Setiap 1 Juni, selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila semasa Presiden Soekarno. Pada 1956, peristiwa tersebut “hampir secara kebetulan” dirayakan di sebuah hotel Hollywood. Bung Karno saat itu mengundang aktris legendaris Marylin Monroe, untuk sebuah makan malam di Hotel Beverly Hills, Hollywood. Hadir di antaranya Gregory Peck, George Murphy dan Ronald Reagan (25 tahun kemudian menjadi Presiden AS). Yang unik dari pesta menjelang Hari Lahir Pancasila itu, adalah kebodohan Marilyn dalam hal protokol. Pada pesta itu, Maryln menyapa Bung Karno bukan dengan “Mr President” atau “Your Excellency”, tetapi dengan Prince Soekarno!

Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17 Agustus 1964, Tahun Vivere Perilocoso (Tahun yang Penuh Bahaya), telah dijadikan judul sebuah film The Year of Living Dangerously . Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan asing di Indonesia pada 1960-an. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!

Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan B. M. Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik. Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

Ketika tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa 9 Juli 1942 siang bolong, Bung Karno mengeluarkan komentar pertama yang janggal didengar. Setelah menjalani pengasingan dan pembuangan oleh Belanda di luar Jawa, Bung Karno justru tidak membicarakan strategis perjuangan menentang penjajahan. Masalah yang dibicarakannya, hanya tentang sepotong jas! “Potongan jasmu bagus sekali!” komentar Bung Karno pertama kali tentang jas double breast yang dipakai oleh bekas iparnya, Anwar Tjikoroaminoto, yang menjemputnya bersama Bung Hatta dan segelintir tokoh nasionalis.

Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang pernah mandi air seni. Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon), Vietnam, 13 Agustus 1945, Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) menumpang pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin sekali buang air kecil, tetapi tak ada tempat. Setelah dipikir, dicari jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahan itu. Melihat lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan hajat kecilnya. Karena angin begitu kencang sekali, bersemburlah air seni itu dan membasahi semua penumpang. Byuuur…

Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama “Abdullah, co-pilot”. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi. Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Gandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa “Abdullah” itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya. “You are a liar!” ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru

Bila 17 Agustus menjadi tanggal kelahiran Indonesia, justru tanggal tersebut menjadi tanggal kematian bagi pencetus pilar Indonesia. Pada tanggal itu, pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, WR Soepratman (wafat 1937) dan pencetus ilmu bahasa Indonesia, Herman Neubronner van der Tuuk (wafat 1894) meninggal dunia.

Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960.

Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, tidak memberi imbalan yang cukup untuk mengenang co-proklamator Indonesia. Sampai detik ini, tidak ada “Jalan Soekarno-Hatta” di ibu kota Jakarta. Bahkan, nama mereka tidak pernah diabadikan untuk sebuah objek bangunan fasilitas umum apa pun sampai 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama mereka.

Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada mereka.

Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl. Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat dini hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal: Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.

Perjuangan frontal melawan Belanda, ternyata tidak hanya menelan korban rakyat biasa, tetapi juga seorang menteri kabinet RI. Soepeno, Menteri Pembangunan dan Pemuda dalam Kabinet Hatta, merupakan satu-satunya menteri yang tewas ditembak Belanda. Sebuah ujung revolver, dimasukkan ke dalam mulutnya dan diledakkan secara keji oleh seorang tentara Belanda. Pelipis kirinya tembus kena peluru. Kejadian tersebut terjadi pada 24 Februari 1949 pagi di sebuah tempat di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Saat itu, Soepeno dan ajudannya sedang mandi sebuah pancuran air terjun.

Belum ada negara di dunia yang memiliki ibu kota sampai tiga dalam kurun waktu relatif singkat. Antara 1945 dan 1948, Indonesia mempunyai 3 ibu kota, yakni Jakarta (1945-1946), Yogyakarta (1946-1948) dan Bukittinggi (1948-1949).

Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jenderal Soedirman, pada kenyatannya tidak pernah menduduki jabatan resmi di kabinet RI. Beliau tidak pernah menjadi KSAD, Pangab, bahkan menteri pertahanan sekalipun!

Wayang ternyata memiliki simbol pembawa sial bagi rezim yang memerintah Indonesia. Betapa tidak, pada 1938-1939, Pemerintah Hindia Belanda melalui De Javasche Bank menerbitkan uang kertas seri wayang orang dan pada 1942, Hindia Belanda runtuh dikalahkan Jepang. Pada 1943, Pemerintah Pendudukan Jepang menerbitkan uang kertas seri wayang Arjuna dan Gatotkoco dan 1945, Jepang terusir dari Indonesia oleh pihak Sekutu. Pada 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan uang kertas baru seri wayang dengan pecahan Rp1 dan Rp2,5 dan 1965 menjadi awal keruntuhan pemerintahannya menyusul peristiwa G30S/PKI.

Perintah pertama Presiden Soekarno saat dipilih sebagai presiden pertama RI, bukanlah membentuk sebuah kabinet atau menandatangani sebuah dekret, melainkan memanggil tukang sate! Itu dilakukannya dalam perjalanan pulang, setelah terpilih secara aklamasi sebagai presiden. Kebetulan di jalan bertemu seorang tukang sate bertelanjang dada dan nyeker (tidak memakai alas kaki). “Sate ayam lima puluh tusuk!”, perintah Presiden Soekarno. Disantapnya sate dengan lahap dekat sebuah selokan yang kotor. Dan itulah, perintah pertama pada rakyatnya sekaligus pesta pertama atas pengangkatannya sebagai pemimpin dari 70 juta jiwa lebih rakyat dari sebuah negara besar yang baru berusia satu hari.

Kita sudah mengetahui, hubungan antara Bung Karno dan Belanda tidaklah mesra. Tetapi Belanda pernah memberikan kenangan yang tak akan pernah dilupakan oleh Bung Karno. Enam hari menjelang Natal 1948, Belanda memberikan hadiah Natal di Minggu pagi, saat orang ingin pergi ke gereja, berupa bom yang menghancurkan atap dapurnya. Hari itu, 19 Desember 1948, ibu kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.

Sutan Sjahrir, mantan Perdana Menteri RI pertama, menjadi orang Indonesia yang memiliki prestasi “luar biasa” dan tidak akan pernah ada yang menandinginya. Waktu beliau wafat 1966 di Zurich, Swiss, statusnya sebagai tahanan politik. Tetapi waktu dimakamkan di Jakarta beberapa hari kemudian, statusnya berubah sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. [berbagai sumber]


Tanggapan

  1. CERITA YANG BAGUS DAN LAYAK DIBUAT NOVEL MERDEKA …….

  2. yang namanya sejarah, siapa berkuasa maka ialah yang membuat sejarah..

    membodohi rakyat hanya demi kepentingan pribadi, sungguh biadab…

    apalagi bermain-main dengan syariat yang harusnya ditegakkan…

    Indonesia…
    tunggulah adzab Alloh SWT jika tidak segera bangkit dari kekufuran pada hukum Alloh..


Tinggalkan Balasan ke osama bin laden Batalkan balasan

Kategori